Cerpen Kakek


Telolet telolet, hp saya berbunyi.

“Nahi, pulang sekarang! Ada yang mau kakek bicarain sama kamu,” itu sms dari rumah bukan dari kakek. Maksudnya sms dari kakak saya, Fatih yang sedang di rumah menyampaikan pesan kakek. Kakek siapa? Ya kakek saya lah. Masa kakek kamu. Kan, kakek kamu tidak semuda dan setampan kakek saya. Oh ya, namanya kakek Mukhlis.

“Insya Allah, A!” (A=kakak laki-laki)

Saya pulang dari Ciganitri, menuju tempat pulang. Setelah pulang, saya temukan kakek berada di dalam rumah. Assalamu’alaikum.

“Iya, Kek?” maksudnya saya tanya kakek, ada apa suruh saya pulang?

“Sini. Kakek mau cerita. Cerita pendek,” jawab kakek sambil wajahnya yang selalu berkerut.

Euhhh, si Kakek mah. Kirain penting,” kata saya. “Iya sok, Nahi dengerin!” (Euhhh=euh, mah=itu, sok=silahkan)

Enggak jelas pisan si Kakek. (Pisan artinya: banget)

“Pada satu hari, ada seekor ayam,” kakek langsung cerita.

“Bentar, bentar, Kek! Ayamnya jantan atau betina?” Saya potong cerita kakek, seperti informasi di teve yang suka dipotong-potong enggak jelas kaya gitu.

“Kayaknya ayam jantan!” jawab Kakek.

“Ya sudah. Lanjut lagi, Kek!” saya suruh dia.


“Ayam itu baru lahir bulan Desember lalu. Setelah satu bulan hidup, dia mati.”

“Masa sudah mati lagi, Kek?” saya tanya kakek.

“Iya, enggak tahu kakek juga,” jawab kakek. “Yang pasti bukan kakek yang bunuh dia.”

“Terusin lagi, Kek!” saya suruh dia lagi dan saya sayang dia.

“Sudah selesai cerpennya. Itu cerpen buatan kakek. Pendek banget kan?” si kakek bilang.

Dih, si Kakek mah. Teu baleg pisan.” (Ih, si Kakek itu. Enggak bener banget)

Ehhh, si kakek malah ketawa.

“Udah, ah. Nahi mau tidur!” kata saya.

Daggg, suara pintu kamar saya. Seolah-olah saya sedang marah.

Ah, Kakek!



Bandung, 31 Januari 2016

Comments

Popular Posts