Peristiwa Tahu Bulat


Pada Kamis atau pada hari Kamis, ketika embun sebatalion berdatangan, saya mandi. Namun sebelum masuk kamar mandi, saya berdo’a dahulu. Itu kebiasaan saya. Setelah masuk, saya disirami air oleh diri saya sendiri, pakai sabun mandi, pakai sampo dan lalu disiram lagi, biar bersih tidak berbusa. Kemudian saya membuka pintu, pintu kamar mandi tentunya sambil berdo’a. Namun berbeda dengan do’a ketika masuk. Terus keluar dan menuju tangga hingga sampai di tempat tujuan, kamar pribadi.

“Wan, nasi goreng dulu!” kata ibu teriak saat saya pakai baju. Alhamdulillah kala itu saya sedang punya baju.

“Iya, Bu,” sahut saya.

Ibu memang sudah terbiasa menggoreng nasi yang sudah goreng itu (goreng: jelek). Namun yang berbeda, itu spesial buat saya, bukan untuk kamu. Enak aja! Kamu juga om Sherlock, jangan ikutan perhatian sama nasi goreng buatan ibu. Katanya, perhatiannya palsu. Om Sherlock orangnya PHP, pungkas nasi goreng buatan ibu.

Setelah makan selesai, saya minum. Minumnya cukup beberapa gelas saja. Gelasnya juga tidak diminum, cuma airnya saja.

Berbaju, makan, minum dan persiapan lainnya telah siap. Kemudian saya pergi keluar rumah, tentunya agar tidak ada di dalam rumah. Lantas mengenakan helm. Di luar, saya nyalakan motor Green berwarna hitam kesayangan saya juga ayah. Tidak lama sehabis itu, ibu keluar juga. Kami naik motor berdua dengan tujuan yang sama, PT Mahameru. Itu adalah nama sebuah pabrik di daerah Cisirung, dekat daerah yang dekat Cisirung.

Setelah sampai di tujuan, ibu memberi saya uang, katanya untuk beli bensin. Mungkin saat itu ibu husnudzan (berprasangka) kalau dirinya berangkat dibonceng sama tukang ojeg, bukan sama anak laki-lakinya. Tapi tidak jadi masalah, yang penting ibu selamat. Ya sudah, saya ambil saja uang sepuluh ribunya. Alhamdulillah.

“Hati-hati.” kata ibu.

Itu sudah menjadi kebiasaan ibu kalau saya berangkat kuliah atau pamit pulang dari mengantarnya, ibu suka ngasih tahu saya mesti hati-hati. Padahal, dari tadi pas mau berangkat juga saya sudah hafalin kalau saya harus hati-hati, tapi itulah ibu yang selalu hati-hati, ibu yang selalu saya sayangi.


“Iya. Assalamu’alaikum.” jawab saya sambil terbiasa bernafas.

Wa’alaikum salam.”

Saya injak gigi. Bukan gigi dosen, tapi gigi motor. Bremmm, saya berangkat menuju tempat kuliah. Untuk menuju ke sana, saya harus melewati jalan Rancamanyar, Leuwidulang, Bojong Waru, Paniisan, Pameungpeuk, Rencong, Dayeuhkolot, Bojong Soang lalu sampai di Ciganitri. Namun saat itu, saya melewati jalan lain. Kenapa? Ya, terserah saya lah.

Di kampus, saya bertemu dengan pohon yang ada di kampus, pedagang yang ada di kampus, toilet yang ada di kampus, tangga yang ada di kampus, sampai akhirnya bertemu dengan teman sekampus. Saya duduk di kursi paling depan, yang kemudian melihat mereka sedang mengisi soal UAS dalam mata kuliah Bahasa Arab. Di antara pertanyaan yang begitu mudah ialah hanya mesti mengisi nama dan nomor induk masing-masing. Mudahkan?

Setelah selesai mengisi soal, kemudian saya tidak mengisi soal. Begitupun teman-teman. Di kalangan perempuannya asik ngobrol, sedangkan laki-lakinya ada yang keenakan mendengarkan musik, main hp dan sejenisnya. Kemudian dua orang dari kalangan perempuan, Ani dan Aini pergi. Saya kira mereka akan membeli makanan. Setelah kembali, ternyata ramalan saya benar-benar terjadi. Mereka membawa sejinjing kantong plastik berwarna hitam yang berisikan lima bungkus tahu bulat.

“Tahu punya saya mana?” tanya saya kepada Ani.

“Emang kamu tadi pesen gitu?” Ani malah balik nanya sambil membagi-bagikan tahu bulat tadi, yaitu kepada Aini, teh Rina, teh Rima, Indri dan dirinya.

“Kan tadi saya pesan satu bungkus!” sahut saya.

“Kamu tadi pesan gitu?” tanya teh Rina. “Kayaknya enggak pesan, ah!”

Sebenarnya saya enggak pernah pesan tahu bulat ke Ani. Tapi karena perut berbisik-bisik meminta pertolongan mulut, akhirnya mulut bilang kalau saya pesan. Kamu jangan salahkan saya. Ani sama teman-temannya saja yang salah, soalnya cuma beli lima bungkus, padahal saya sedang lapar.

“Ini kalau mau. Ambil aja!” teh Rima berlaku baik kepada saya.

“Enggak ah, kan saya sudah pesan.”

Saya kira mereka bingung juga bengong. Mungkin dalam hatinya Ani bergumam, siapa sih yang salah. Saya sudah cape-cape beli tahu bulat 15 meter dari kelas ini jaraknya. Pas sudah sampai di kelas, eh, malah dibingungin. Sekalian saja di-PHP-in lah! (PHP akronim dari Pemberi Harapan Palsu).

“Ini, Nahi. Ambil aja punya saya!” teh Rina berbelaskasihan.

“Sini, teh Rina!” saya ambil tahu bulatnya. “Saya cuma mau ngambil hak saya aja. Tadi sudah pesan masa enggak dikasih.”


Mereka diam. Dengan hati yang tenang Indri tetap mengunyah tahu bulat miliknya. Kenapa tenang coba? Karena hatinya memang sedang tenang. Atau mungkin karena tahu bulat yang dimakannya, memang tahu bulat sah miliknya.

Ani, Aini, teh Rani dan teh Rima bingung.

Sembari membelakangi mereka yang sedang kebingungan, karena rasa kesal tidak diberikan hak pesanan, saya makan habis tahu bulat itu.

“Kayaknya Nahi memang pesen, Ni!” kata teh Rina dengan memelankan suaranya sambil melirik Ani.

“Iya, kayaknya,” akhirnya Ani sadar.

Alhamdulillah, rezeki tidak terduga. Perut akhirnya lemas tidak sanggup berkata-kata karena kekenyangan.

Sebelum kami pulang, saya traktir teh Rina jajan baso tahu. Itu sebagai balasan dari Tuhan yang disampaikan melalui saya bagi teh Rina yang baik hati. Terima kasih teh Rina.



Bandung, 29 Januari 2016

Comments

Popular Posts