Berbincang dengan Mamat di Telepon
Suatu hari, terdapat hari
Ahad atau hari Minggu. Hari Minggu adalah hari setelah hari Sabtu atau hari
sebelum hari Senin. Atau hari minggu adalah hari yang tidak mungkin malamnya
menjadi malan Rabu, karena sudah dipastikan menjadi malam Senin. Itulah hari
Minggu.
Di hari Minggu malam,
tepatnya jam setengah tujuh, ketika saya berpapasan dengan laptop, terdengar suara dug dug dug pertanda tangga
kayu menuju kamar saya sedang ada yang menginjak. Suaranya semakin mendekat.
Mendekat lagi. Dan braayyyy (brayyyy itu kalau tidak salah adalah
bahasa Sunda untuk menggambarkan semacam tirai yang sengaja dibukakan pertanda
drama telah dimulai), Walid, saudara saya dari kp. Sayang datang.
“Assalamu’alaikum!”
Walid memulai.
“Wa
‘alaikumsalam!” sahut saya. “Sendirian?”
Setelah
itu kami ngobrol-ngobrol. Mau tahu ngobrol apa? Enggak usah lah, enggak penting
soalnya.
Beberapa
waktu ngobrol, terdengar suara robot milik ayah saya mulai bekerja. Mau tahu
robot apa? Ini penting masalahnya. Adalah robot penumbuk beras penghasil
tepung. Aneh kan? Kerjanya itu gampil, kita hanya menyuapi si robot dengan beras, maka ia akan mengeluarkan tepung. Ya,
atau mungkin bisa disebut mesin tepung. Jjgggjjggj, suaranya berisik
begitu memilukan.
“Si
Galang enggak nelepon?” tanya saya. Galang itu
teman saya dan Walid, yang ngasih tahu bahwa
Minggu tadi ada musyker HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan).
“Enggak!”
“Oh!”
“Cuy,
si Mamat pengen nelepon katanya!” Mamat itu
saudara sekaligus teman kami yang sedang bekerja di Jakarta. Itu sih katanya,
entah kalau aslinya.
“Euh,
berisik neleponnya juga!”
Saya
bilang berisik karena itu si robot lagi makan beras. Tapi mungkin enggak
apa-apa lah.
“Sebentar,
bawa dulu hp A Wildan!”
Walid
turun ke bawah melalui tangga. Dia bawa hp A Wildan supaya neleponnya gratis, katanya. Entah hp nya yang bikin gratis,
entah kartunya. Sudahlah jangan dibahas. Akhirnya dia kembali ke kamar saya
dengan selamat.
“Ini
si Mamat!” Walid menyodorkan hp A Wildan.
“Assalamu’alaikum!”
kata saya.
“Wa
‘alaikumsalam!” kata Mamat dalam telepon. Hebat si Mamat bisa masuk ke
telepon, euy. “Gimana kabarnya, sehat, Nahi?”
“Alhamdulillah!
Gimana orang Jakarta sehat?”
“Alhamdulillah,
sehat!”
Saya
dengan Mamat berbincang. Berbincang dan berbincang.
“Sekarang
kamu di mana?” itu Mamat yang nanya.
“Di
stasiun kereta api. Lagi berangkat ke Kebumen!”
“Ah,
yang bener!”
“Eh,
enggak percaya wae!” (Wae=terus). “Itu dengerin suara kereta api
berisik!” saya kasih bukti kalau saya sedang di stasiun. Maksudnya suara robot ayah saya, bukan suara kereta
api.
“Yang
serius, ah!”
“Ini
lagi di Stasiun Gambir!” padahal saya enggak pernah ingat kalau berangkat ke
tempat kelahiran ibu, Kebumen, harus lewat stasiun mana saja. Saya menjawab
tidak menggunakan jawaban baku.
“Nahi,
saya tidur boleh?” Walid memotong-motong perbincangan saya dengan Mamat yang
sedang di Jakarta itu.
“Boleh,
lah!” jawab saya.
“Malu
Mat euy teleponan di kereta api mah!” itu saya yang berkata. (Mah=itu)
“Yang
bener, ah!”
“Si
Walid mana?” tanya Mamat, seperti yang kesal.
“Sstttt,
Mat! Walid lagi tidur,”
“Tuh
kan enggak lagi berangkat ke Jawa. Pasti lagi di kamar! Haha.” Oh, benarnya. Mamat seperti dukun waktu itu.
“Ehh,
dia tidur di kursi kereta api, atuh!” (Atuh artinya: lah)
Lalu
saya ngobrol agak serius dengan Mamat. Kenapa? Karena kasihan katanya pengen
teleponan. Saya kasih dia waktu
untuk serius. Dan nyatanya dia serius.
“Do’akan
saja semoga saya sukses. Ya, kamu juga, semuanya pada sukses. Maaf kalau saya
banyak salah.”
Itu
sudah menjadi kebiasaan Mamat kalau nelepon atau ditelepon. Bahkan sms juga sama.
“Yuk,
assalamu’alaikum!” kata Mamat.
“Wa
’alaikumsalam!” sahut saya memberi keselamatan juga kepada Mamat yang
sedang berada di sana sedang merantau.
Ya,
terima kasih, Mat. Semoga do’a-do’amu yang selalu dikirimkan melalui sms
ataupun telepon itu dikabulkan. Dan ingat
satu pesan saya, jangan galau di sana!
Bandung, 4 Februari 2016
Comments
Post a Comment