Bertemu Esa
Hari itu, hari yang mendung
itu, hari ketika tanggal 6 Februari itu, hari di tanggal merah itu adalah hari
di mana saya tidak bisa antar ibu ke tempat kerjanya. Katanya saya sakit, saya
berbisik kepada diri saya sendiri. Hingga akhirnya ibu diantar ayah. Sedangkan saya
hanya bisa berbaring dan tidak tidur karena saya sedang main laptop.
“Jam 10-an kalau bisa kita
nengok Agni sama Lisa,” itu saya buka sms dari Walid setelah hp saya bergetar, dddrrrd.
“Huuh, siap!” saya balas
smsnya meskipun sedang batuk.
Agni dan Lisa itu teman
saya, teman saat saya menginjak meja Mu’allimin. Kini, keduanya sudah banyak rezeki
karena sudah punya anak. Kenapa mereka punya anak? Mungkin karena mereka ingin.
Hai, putranya Agni dan Lisa. Saya seolah-olah menyapa keduanya untuk singgah di
bumi sebelum dipersilahkan masuk ke surga nanti.
Walid bilang, jam 10
langsung berangkat. Sekitar jam sembilan, saya sedang bersiap-siap berangkat
menuju rumah Agni dan Lisa hingga akhirnya saya benar-benar siap. Namun jam sepuluh
lewat, Walid belum juga datang ke rumah.
Telolet telolet, itu hp saya yang berbunyi. Oh, Walid nelepon. Lalu
saya angkat. Maksudnya bukan hpnya yang saya angkat ke atas, tetapi angkat di
sini maksudnya menjawab telepon Walid. Katanya, nanti ada yang jemput ke rumah,
kira-kira seperti itu. Ya, saya tunggu.
“Assalamu’alaikum!”
sepertinya itu suara Hasan. Coba kamu dengar suaranya, Assalamu’alaikum!
Benarkan suara Hasan?
“Wa ‘alaikumsalam!”
itu ayah yang jawab. “Nahi, ada teman!”
“Iya, Yah!” jawab saya.
Dan benarlah saya, itu
memang suara Hasan. Hasan itu memiliki postur tubuh yang agak tidak kecil.
Mengertikan? Kala itu dia memakai jas hujan dan atau memakai motor untuk
menjemput saya. Jika boleh berpendapat, saya rasa Hasan menjemput saya bukan karena
dia ingin berniat baik, mungkin karena suruhan Walid. Itu sih kayaknya. Semoga
dia tidak baca tulisan ini. Kalau dia baca, semoga saja enggak.
“Masuk dulu, San!” saya
ajak Hasan masuk ke rumah dengan sepenuh hari.
Saya lupa lagi dia bilang
apa waktu itu. Yang jelas dia enggak mau masuk dan siap menunggu di luar rumah.
Juga, dia sudah melepas jas hujannya.
“Yah, saya berangkat!” saya
izin pergi kepada ayah.
“Bawa jas!”
“Enggak, Yah!”
Saya langsung naik motor
yang sudah disediakan Hasan untuk saya. Maksudnya duduk di belakang Hasan.
“Assalamu’alaikum, Pak!”
kata Hasan kepada ayah saya
“Wa ‘alaikumsalam!”
Setelah motor melaju agak
jauh dari rumah, saya agak heran sama Hasan.
“San, dia bapak kamu?” saya
tanya Hasan.
“Masa saya harus bilang eMang.
Dia bukan eMang saya!” Hasan menjawab dengan agak ketawa. (EMang artinya: om)
“Hehehe”
Setelah motor membawa kami
kira-kira 100 meter dari rumah, hujan turun. Lumayan, jaket dan celana yang
saya pakai tidak kering karena terkena hujan.
“San, bawa jas hujan?”
“Bawa. Pakai aja sama
kamu!”
“Enggak, ah. Cuma nanya aja
kok!”
“Saya pakai, atuh!”
“Iya, sok!” (Sok=
silahkan)
Motor di bawa ke pinggir
jalan oleh Hasan. Hasan mulai memakai jas hujannya. Sedangkan saya? Saya hanya
bisa kehujanan waktu itu. Apalagi melihat cuaca menuju rumah Agni dan Lisa
seperti hendak turun hujan lebat.
“San, kamu pakai jas di
sini, saya ambil jas ke rumah!” maksudnya saya ambil jas ke rumah naik motor
dan meninggalkan Hasan sendiri di pinggir jalan memakai jas dan kehujanan.
“Saya ikut!” kata Hasan,
sambil jas hujannya belum selesai dia pakai.
“Yuk!”
Waktu itu saya yang ambil
kemudi motor. Dan ikhlas. Ikhlas membawa Hasan yang enggak punya malu nebeng di
motor yang saya ambil kemudi. Akhirnya motor sampai di depan gang menuju rumah.
Saya suruh Hasan nunggu di sana, di jalan. Maksudnya di pinggir jalan.
Jas hujan saya pakai. Helm
juga sama saya pakai di rumah. Lalu berangkat menuju tadi Hasan menunggu. Oh,
di sana sudah tertera Dadan, Hilman dan Ladi mengunjungi Hasan yang sudah
memakai jas hujan. Mereka adalah adik kelas ketika saya masih Mu’allimin,
tepatnya berbeda dua tahun untuk menjadi alumni.
“Eh, Man, sehat?” saya
bertanya kepada Hilman yang nebeng di motor Dadan sambil bersalaman dengan
ketiganya.
“Sehat!”
“Mau pada kemana?” Dadan
bertanya kepada saya dan Hasan.
“Biasa, mau ke Braga!” saya
jawab. Jawaban itu bukan jawaban baku, karena saya asal jawab saja.
“Wesss,” Hilman seperti
yang takjub.
Waktu itu Ladi entah bicara
atau enggak, karena saya lupa. Hingga akhirnya mereka berangkat meninggalkan
kami. Entah kemana. Mungkin menuju bulan.
“Hayu, ah!” kata
saya kepada si pengemudi motor itu, Hasan. (Hayu artinya: mari).
Akhirnya motor melaju
hendak membawa kami menuju Alun-alun Banjaran. Di perjalanan, tepatnya di depan
masjid al-Mukhlis, Kamasan, kami berhenti. Kenapa? Karena hujan berhenti yang
membuat kami melepaskan jas hujan. Setelah selesai, kami berangkat lagi. Dan
akhirnya sampai juga di Alun-alun Banjaran.
Owww, di sana ada Esa,
bersama Walid, Piyan, Yusman dan dua buah motor. Ohh, sudah lama saya tidak
bertemu dengannya, dengan Esa. Dia masih saja seperti dulu, masih berkedip.
Ya, dia Esa. Esa adalah
perempuan bertubuh kekar seperti ayahnya yang memiliki dua buah bola mata sama
seperti saya. Di mana matanya itu dia fungsikan untuk melihat.
Ya, dia Esa. Esa yang waktu
kecil pernah salah dalam mengeja kata. C-O-N-E-L-O, yang seharusnya dibaca
conelo, malah menjadi es krim.
Ya, dia Esa. Esa yang
pernah melihat saya sewaktu pertemuan pertama calon santri Mu’allimin untuk
mengukur ukuran baju yang nanti akan digunakan.
Ya, dia Esa. Esa yang
pernah memberikan beberapa tulisan yang dia lukiskan dalam beberapa kertas yang
mudah sobek. Namun nyatanya kertas itu saya simpan baik-baik dan sampai
sekarang masih utuh.
Ya, dia Esa. Esa yang
selalu menasihati saya agar tidak terlalu banyak makan mie. Saya lupa lagi
kenapa dia memberikan nasihat seperti itu. Bahkan dia bilang, seminggu maksimal
dua kali. Ya, saya bilang, minimal dua kali.
Ya, dia Esa. Esa yang
pernah memberikan saya sarapan pagi sewaktu acara Musfakar di sekolah. Dan itu
enak, Esa.
Ya, dia Esa. Esa yang
pernah memberikan saya gitar mainan berwarna merah tua yang dia beli dari
Cibolang. Bahkan gitar itu sekarang berada di depan saya, karena saya pajang,
sebagaimana waktu itu dia pesan. Dan selalu seperti itu.
Ya, dia Esa. Esa yang
sekarang sudah berubah. Berubah bajunya memakai baju berwarna hitam biru saat
saya temui itu. Di sana, di Alun-alun Banjaran.
Oh, ya, waktu itu kami
berangkat menuju rumah Agni yang tidak jauh dari Alun-alun Banjaran itu. Di
sana sudah tertera Falah dan Vera yang sedang enak duduk di sofa. Tapi bukan sofa
milik Falah maupun Vera, mereka
hanya ikut duduk saja di sana. Dan? Dan Agni menyambut kedatangan kami ketika
cuaca sedang bersahabat dengan para petani yang menurunkan air hujan. Dan
dingin. Di sana kami berbincang. Berbincang tentang apa saja yang tidak perlu
diperbincangkan. Juga makan bakso.
Ketika Piyan, Hasan, Yusman, Falah dan Vera meneruskan
perjalanan ke tempat Lisa, saya dan Walid izin tidak bisa ikut. Ya, kamu harus
mengerti! Bukan karena saya dan Walid tidak ingin, tetapi kami sudah punya
janji. Terima kasih teman! Dan juga untuk semua orang yang punya teman!
Ah, Esa!
Bandung, 9 Februari 2016
Comments
Post a Comment