Kejadian Sebelum UAS

Saya bangun tidur setelah saya tidur. Lalu pergi ke kamar mandi. Untuk apa? Ya, untuk mandi. Setelah mandi saya pakai baju dan shalat subuh. Oh, ya, waktu itu adalah hari setelah hari Rabu, yaitu hari Kamis, hari pertama saya harus ikut UAS di meja perkuliahan, tepatnya semester pertama.


Seperti biasa, sebelum saya sampai ke kampus, saya semestinya naik motor Green terlebih dulu. Setelah saya naik motor, ibu lanjut mengikuti saya untuk naik motor. Jadi maksudnya saya pergi bersama ibu ke tempat ibu bekerja, bukan ke kampus.

“Hati-hati!” itu ibu yang bilang.

Ibu sudah terbiasa bilang seperti itu untuk saya. Selain itu, ibu juga sudah biasa membuat saya gembira dengan nasi goreng buatannya. Ah, enak!

“Iya, Bu. Assalamu’alaikum!

Wa ‘alaikumsalam!

Bremmm, saya bergegas pergi naik motor yang membawa saya ke Ciganitri, tempat saya harus kuliah. Untuk sampai ke kampus, saya menghabiskan waktu setengah jam kira-kira. Tapi waktunya enggak saya makan. Itu gaya bahasa saya saja yang semestinya menggunakan kata “menghabiskan.”

Setelah sampai di kampus, saya simpan motor Green berwarna hitam itu bukan di atas pohon, tetapi di bawah pohon tepat di belakang kampus. Itu sudah biasa saya simpan motor di sana. Kenapa? Supaya bermanfaat. Maksudnya motor saya itu suka dipakai tempat duduk pedagang yang ingin duduk. Itu buktinya, saat ini motor saya dijadikan tempat duduk sama tukang pedagang cilok yang pakai topi kuning abu-abu.

Motor disimpan di bawah pohon telah selesai, saya ambil helm yang telah saya gunakan saat motor membawa saya ke kampus untuk di simpan di lemari tempat penyimpanan helm. Niatnya, ya karena takut diambil sama tukang cilok itu, yang pakai topi kuning abu-abu, yang saat ini sedang duduk di jok motor saya sama si eMang tukang cireng.

Menyimpan helm selesai, saya tidak lagi menyimpan helm. Kenapa? Kan barusan sudah saya simpan helmnya. Lalu saya temukan teman-teman yang menjadi teman saya di? Saya lupa lagi. Cuma, waktu itu setelah beberapa waktu ngobrol, saya ingat. Maksudnya saya ingat, bahwa waktu itu saya bersama mereka berada di depan ruangan TU atau administrasi atau apalah saya enggak pernah tahu namanya. Pokoknya di dalamnya ada si teteh yang selalu pakai kerudung, saya juga lupa lagi apa judul si teteh itu.

“Nahi, kamu sudah bayar UAS?” itu Fatih yang nanya. Tapi bukan Fatih kakak saya. Cuma namanya saja yang sama.

“Belum!” saya jawab, karena kasihan dia sudah nanya.

“Terus di sini mau apa?”

“Mau ngambil kartu!” maksudnya kartu UAS.

“Harus bayar dulu, kan?”

Oh, ya, di kampus saya itu ada mitos yang beredar jika bayaran semester dan UAS belum terpenuhi, katanya enggak bisa ikutan UAS. Seremmm, euy.

“Ya, semoga aja ada orang yang salah bayar jadi ke bayaran saya!” itu saya berdo’a di hadapan Fatih, meskipun sebenarnya saya sudah bayar semuanya.

“Eh, enggak bener kamu mah!”

“Ehh, asli. Saya mah, berdo’a we!”

“Yang bener ini mah!” Fatih tampak panik. Mungkin karena sebentar lagi waktu UAS tiba. Dan panik mungkin karena bayaran semesternya belum rampung. Itu sih prakiraan saya, bukan prakiraan cuaca.

“Teh, bayar UAS nya boleh pake SKTM enggak, ya?” saya tanya si teteh yang ada di dalam ruang yang tadi, katakan saja ruang TU. (SKTM= Surat Keterangan Tidak Mampu)

Si tetehnya senyum. Senyumnya sambil melihat saya. Dan mereka, para teman saya ketawa. Di sana ada Fatih tentunya, Raham, Rosi, Ira, Susi dan beberapa lagi, namun saya lupa. Oh, ya, ada pa Diding juga.

“Emmm, enggak bisa ya Teh. Kalau pake kartu BPJS, bisa?” saya lanjut bertanya.


Saya lupa lagi entah si teteh itu senyum lagi atau enggak. Yang pasti dia masih di sana, di dalam ruang TU. Sembari teman-teman yang adalah teman saya ketawa. Lalu saya ngobrol-ngobrol sebentar.

“Mau ambil kartu UAS, Teh. Namanya Nahi Fahmi!”

“Bentar, ya!” si teteh buka-buka buku catatan harian kampusnya. Maksudnya buku administrasinya.

“Ini, Nahi Fahmi!” itu si teteh melanjutkan perkataanya.

Alhamdulillah ada yang nyasar bayar UAS!” kata saya seolah-olah bicara kepada diri pribadi.

Fatih tampaknya bingung. Terlebih dia dibingungkan dengan dirinya yang belum memenuhi persyaratan ikut UAS. Sampai akhirnya, saya terbebas dari belenggu kecaman kampus dari UAS itu. Dan Fatih? Tampaknya ia pulang. Mungkin pulang sambil tersedu-sedu karena kesedihan. Oh, teman, berbanyaklah berdo’a!



Bandung, 6 Februari 2016

Comments

Popular Posts