Pengkhianatan Diyas


Assalamu’alaikum, Yas!” itu saya yang telepon Diyas di hari Rabu sekitar jam setengah sepuluh pagi di jalan Terusan Buah Batu dekat para polisi yang sedang tilang orang yang ditilang. Tidak ada maksud untuk kangen kepadanya, karena saya bukan pengidap layaknya LGBT. Tapi memenuhi janji saya bahwa hari itu, hari Rabu, saya akan datang ke Viaduct di jalan Perintis Kemerdekaan, tempat dia bekerja.

Kamu harus tahu, bahwa hari itu adalah hari di mana ada pesta buku, tepatnya di Landmark Braga dekat dengan tempat Diyas bekerja. Sekitar 30 meter-an lah. Itu menurut saya, jika kamu ingin berpendapat, silahkan saja. Sebenarnya, hari sebelumnya, hari Selasa, sudah saya masuki tempat pesta buku itu oleh saya. Maksudnya saya sudah pernah ke sana, ke Landmark Braga untuk melihat-lihat sehingga membeli-beli buku. Namun naasnya, saya masih ingin ke sana.


Ada satu hal yang membuat kaki saya untuk berjalan ke Landmark Braga. Mau tahu? Itu, buku gratis. Tempatnya berada di satu stand di bawah tangga, tapi saya enggak tahu stand buku apa namanya. Mungkin stand “Buku Gratis Tiap Hari”, soalnya ada tulisan itu di atas standnya. Tapi, entahlah. Pokoknya, yang jaga stand itu adalah manusia, satu laki-laki dan satu lagi bukan laki-laki (perempuan berkerudung). Tepatnya, buku gratis itu hanya ada dalam sebuah dus berwarna coklat yang tidak banyak dilirik makhluk hidup.

Oh, iya, kembali lagi ke telepon. Maaf ya.

Wa ‘alaikumsalam!” jawab Diyas.

“Masih di Viaduct?”

“Iya, masih!”

“Ke Viaduct lewat jalan Terusan Buah Batu ada polisi, euy!” itu maksudnya polisi yang suka nilang. (Euy itu bahasa Sunda, tapi saya enggak tahu apa bahasa Indonesianya).

Andai saya tadi lewat jalan itu, jalan Terusan Buah Batu, terus ditangkap, saya pastinya akan diajak damai sama yang nilang karena saya belum punya kartu SIM, bukan akronim dari Surat Izin Menilang, tapi Surat Izin Mengemudi. Itu sih biasanya. Dan jangan kamu tiru saya yang belum punya SIM ini.

“Kalau ke Viaduct-nya lewat jalan Dayeuh Kolot, lewat mana aja?” itu saya yang nanya Diyas. Kenapa? Karena bukan Diyas yang nanya saya.

“Dari Dayeuh Kolot lurus, ngelewat tiga lampu lalu lintas. Terus belok kiri. Belok kanan langsung. Nah, di sana udah kelihatan Masjid Agung Bandung!” Diyas memberi saya tahu Landmark Braga. Maksudnya, itu Diyas bukan memberi saya tahu buatan asli orang Landmark Braga, tapi memberi tahu bagaimana saya bisa sampai di Landmark Braga.

“Siap!” sahut saya. “Nuhun, Yas!” (Nuhun artinya: terima kasih)

“Sama-sama!”

Saya naik lagi motor yang kemudian membawa saya menuju jalan yang Diyas sarankan. Oh, ya Allah, jalan yang saya lalui itu juga ada banyak pak polisi. Namun saya beruntung (untung itu bukan nama orang), jalur sebelah kiri menuju Masjid Raya Bandung yang saya lalui tidak terdapat program penilangan dari para polisi, hanya jalur sebelah kanan saya saja, tepatnya arah untuk nanti saya pulang. Saya lolos. Namun tidak jauh dari sana, saya dapati juga para polisi, itu sama banyaknya saya rasa. Namun, yes, mereka pada makan atau semacam sarapan yang adalah bukan di salon, tetapi di warung makan semacam warteg. Saya berhasil sampai Viaduct.

Di Viaduct saya simpan motor di tempat parkir, di ruang bawah tanah gedung Viaduct. Di sana saya temukan A Nopan, kakak bukan kandungnya Diyas. Mungkin sepupu atau apalah saya enggak tahu.

Assalamu’alaikum, A!” itu saya yang mulai.

Wa ‘alaikumsalam! Mau ke Diyas?” A Nopan bertanya. Wow, kayakya dia layak jadi peramal.

“Iya, A!”

“Oh, Diyas lagi di Braga!” maksudnya di pesta buku itu.

“Oh, di Braga. Iya udah, saya ke Braga dulu ya, A!”

“Iya!”

Aneh. Diyas tadi bilang, pas saya masih di jalan Terusan Buah Batu, katanya belum ke Landmark. Tapi nyatanya, dia meninggalkan saya pergi. Ah! Mungkin dia sedang belajar berkhianat. Itu sepertinya.

“Ehh, Yas!” itu saya bertemu Diyas sewaktu saya jalan kaki pergi ke Landrmark, sedangkan Diyas berjalan menuju Viaduct dengan segala buku berjudul yang dia bawa. Lalu salaman. Sepertinya dia malu (maaf Yas saya harus jujur). Waktu itu Diyas sama A Ilman (bukan Ilman putra om saya, om Ran. Tapi dia adalah kakak kelas saya sewaktu di Mu’allimin).

“Ehh, Wan! Saya barusan duluan. Takut keburu habis sama kamu!” Kira-kira seperti itu percakapan kami di jalan yang ….. apalah! Pokoknya di jalan itu. Jalan yang  seperti tempat Car Free Day, karena memang disediakan untuk tempat parkir. Lah, susah saya jelasinnya.

Diyas mengajak saya untuk menyimpan buku dulu. Ya, dia saya turuti. Alhamdulillah, menyimpan buku di Viaduct dapat dilaksanakan dengan lancar dan selamat. Setelah itu saya tidak melihat lagi A Ilman. Dan kami lanjut menuju Landmark lagi.

Dengan kembalinya Diyas menuju Landmark, itu bisa menyingkirkan kata “Pengkhianatan” pada judul tulisan ini. Maka dengan itu, “Diyas”, adalah judul yang saya angkat pada tulisan kali ini. Dan bukan lagi berjudul “Pengkhianatan Diyas”. Oh, Diyas!




Bandung, 8 Februari 2016

Comments

Popular Posts