Sebelum Lewat Liwet


Cuaca Bandung hari itu cukup mendung, karena tidak panas. Andai benar, hari itu adalah hari Sabtu tanggal ke enam di bulan Februari tahun dua ribu enam belas (2016). Dan bahagia.

Kala itu saya sedang duduk di kursi chitose (entah bahasa apa itu chitose) tepat berada di belakang kampus. Kamu harus tahu, bahwa duduk di kursi itu butuh pengorbanan. Tapi bukan berarti saya mesti menjadi korban, seperti korban kopi maut berisi sianida yang sedang ramai didiskusikan itu.

Ehh, eta korsi tong dibawa kaluar, kehed. Bisi ruksak!” itu suara pa Peliq yang ditujukan kepada saya. (Artinya: Ehh, itu kursi jangan di bawa keluar, kehed. Nanti rusak! Kehed itu bukan nama makanan seperti cilok bakar, bukan juga nama perabot dapur, tapi semacam ucapan yang ditujukan ketika marah. Seperti itu lah, mungkin!—)

Pa Peliq itu semacam TU lah. TU kampus saya di Ciganitri itu. Lantas kenapa pa Peliq marah? Karena saya bikin marah dia. Biasanya, di belakang kampus itu sudah sedia bangku buat orang yang ingin duduk. Karena keberadaan bangkunya tidak berada, maka saya ambil itu chitose yang ada di depan kelas lantai dua. Dan waw, itu pa Peliq bersuara seperti yang saya tuliskan di atas.

“Siap, pa Peliq. Nanti saya simpan lagi ke atas!” uhh, pa Peliq langsung pergi.

Tapi saya rasa pa Peliq enggak marah, cuma sayang aja. Maksudnya sayang sama kursinya. Dan juga memang itu tugas pa Peliq. Jadi saya rasa saya yang salah. Maaf ya, pa! Ya, ya, ya.

Oh, ya, saya duduk di chitose itu kira-kira mau internet-an. Di sana internet-an itu enak. Soalnya gratis. Ada wifi. Dan senang.


Itu Husein datang mendatangi saya. Datang membawa badan besarnya sambil berjalan.

“Ehh, Sein!” itu saya yang mulai.

Enggak tahu bilang apa dia waktu itu ke saya. Pokoknya setelah itu saya ngobrol sama dia. Ngobrolin tentang obrolan yang saya obrolkan.

Itu Walid datang mendatangi saya. Datang membawa bajunya yang dia pakai. Kira-kira waktu itu jam setengah Sembilan. Lalu kami saling sapa.

Hayu, liliwetan di rumah Kiki!” kata Walid. (Liliwetan itu mungkin artinya: makan bareng pakai nasi yang direbus)

Setelah mengingat dan mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya saya bilang setuju. “Hayu!” (Hayu artinya: mari)

Itu Rosi, teh Vani (yang pakai celana pensil berbahan levis) dan A Luki datang namun tidak mendatangi saya. Mereka mendatangi ibu-ibu itu yang pakai kerudung dengan syar’i. Itulah ibu-ibu yang jualan air minum dekat gerbang belakang kampus, sebelah kanan saya, kira-kira tujuh meter dari tempat duduk.

“Nahi sombong lah!” itu A Luki yang bilang.

Sebenarnya waktu mereka datang, saya pakai penutup kepala dari jaket saya. Bukan sedang main petak umpet, tapi lebih karena saya inginnya seperti itu. Dan akhirnya saya berhasil ditemukan.

“Ehh, A Luki!” saya samperin mereka yang sedang jajan minuman sambil makan cimol di bangku si ibu tadi. (Cimol itu singkatan dari aci digemol menurut saya sewaktu kecil. Digemol itu seperti digayem menurut saya. Digayem itu artinya dikunyah, mungkin)

“Sehat, Nahi?” a Luki bertanya.

Di sana saya berbincang-bincang dengan mereka sambil membincangkan yang diperbincangkan. Rosi duduk di bangku depan sebelah kiri saya, teh Vani duduk di bangku depan sebelah kanan saya dan a Luki duduk di motor dengan saya, tepatnya sebelah kanan. Dan si ibu berkerudung syar’i itu? Ibu-ibu salihah itu sedang melayani konsumennya, di belakang Rosi dan teh Vani, tetapi di depan saya dan a Luki.


“Rosi, mau apa ke sini?” saya bertanya seperti menginterogasi.

“Emm, mau apa ya?” dia seperti bertanya kepada diri sendiri, “ikut teh Vani aja!”

“Kalau teh Vani ke toilet, ikut juga?”

“Hehe, iya enggak lah!”

“Duh, kenapa saya enggak pegang cimol ya?” saya bertanya seperti kepada diri sendiri karena melihat Rosi dan Vani memegang cimol dan a Luki memegang cireng. Dan mereka makan.

“Ini. Sok beli cimol!” teh Vani menyodorkan uang lima ribu, kepada? Kepada saya lah.

Setelah saya ambil uang yang disodorkan teh Vani, itu Indri datang mendatangi kami. Datang membawa hati yang ingin pinjam uang.

“Ih, ada yang punya uang receh enggak?” Indri bertanya, “saya enggak ada receh nih mau jajan!”

“Nih, pake uang saya!” saya sodorkan uang dari teh Vani.

“Ini uang siapa?”

“Punya saya!”

Pinjam dulu. Nanti diganti, ya!”

Indri pergi menuju kepada bukan pacarnya. Dia adalah tukang bakso ikan yang berdagang bakso ikan. Bukan bakso kepunyaan ikan, tetapi bakso yang rasanya ikan, mungkin.

“Sekalian sisanya beli cimol!” saya teriak kepada Indri.

“Iya!” dia malah ikut teriak.

Oh, iya, saya bilang cimol waktu itu maksudnya adalah tahu bulat, tapi seperti cimol. Sengaja waktu itu tahu bulat saya anggap sebagai cimol, karena ingin sama seperti yang dibawa Rosi dan the Vani. Jadi, cimol dalam tulisan kali ini maksudnya adalah tahu bulat.

Saya lanjut ngobrol dengan mereka, a Luki, Rosi dan teh Vani. Itu teh Gina datang mendatangi kami sambil menggendong putranya yang semoga dia shalih. Shalih itu bukan nama orang, tetapi sifat buat orang yang baik menurut agama saya, Islam, itu menurut saya.

“A Luki sama teh Vani kayak yang kembar. Mirip!” teh Gina ikut nimbrung sambil agak ketawa.

Hahaha saya ketawa. Dan semua juga sama ketawa sambil Indri datang memberikan cimol pesanan saya tadi. Dan Indri langsung pergi. Entah kemana.

“Ini Rosi mirip kayak cimol, teh!” saya balas ucapan teh Gina tadi sambil menaikkan cimol seperti menyerupakan wajah Rosi dengan cimol pesanan tadi. Dan semua ketawa. Rosi juga tidak membela diri.

Saya dan mereka berbincang yang kemudian tidak berbincang karena si ibu berkerudung penjual minuman itu bertanya.

“Teh, dari pesantren?” si ibu bertanya kepada teh Vani yang memakai celana pensil itu. Perempuan yang memakai celana pensil di lingkungan kampus itu dikatakan bukan sebagai perempuan yang syar’i. Karena saya rasa seperti itu.

“Enggak, Bu. Saya dari umum,” jawab teh Vani.

“Bagus lah masuk ke sini!” maksudnya bagus kuliah di sini, di Ciganitri.

“Iya, Bu. Soalnya saya yang bawa ke sini!” saya memberitahu si ibu meskipun nyatanya tidak seperti itu.

Alhamdulillah. Punya teman yang baik!” si ibu memuji saya. Duh!

“Tapi dia cuma ngasih uang lima ribu, Bu!”

“Ehh, enggak apa-apa!”

Saya lanjut perbincangan, hingga akhirnya kami bersiap-siap menuju rumah Kiki untuk liliwetan. Dan akhirnya kami pergi, saya pun pergi. Pergi menuju Curug Cangkring tempat Kiki saat itu singgah di bumi. Ya Allah, terima kasih telah memberikan saya uang lima ribu itu. Tidak lupa dan tidak ingin lupa telah mengizinkan saya menjadi teman mereka, si para teman-teman saya itu. Oh, teman!



Bandung, 9 Februari, saat ayah, a Wildan (putra uak Dindin), Fikri (putra mang Hambal), Ilman (putra mang Ran) dan para teman ayah berbincang dan berisik. Sedangkan saya menulis tulisan ini. Dan lapar.

Comments

Popular Posts