Ini


Terima kasih Tuhan telah menciptakan alam

Terima kasih alam telah menumbuhkan Adam

Terima kasih Adam telah mengeluarkan Hawa

Terima kasih Hawa telah melahirkan nenek

Terima kasih nenek telah melahirkan paman

Terima kasih paman telah melahirkan Walid

Terima kasih Walid telah mengenalkanku ke Mu’allimin

Terima kasih Mu’alimin telah mengenalkan Dina

Terima kasih Dina telah mengenalkan Diani

Terima kasih Diani telah meminjamkan buku Dilan

Terima kasih Dilan telah membuatku menulis puisi ini



Ini adalah puisi berjudul ‘Ini’. Puisi ini saya tulis karena ini adalah keinginan saya. Padanya didapati tulisan, Rabu, 13 Januari 2016. Di belakang Kampus, dekat terminal listrik di pinggir roda mie ayam. 10.08.

Dalam puisi ini saya hendak menyampaikan kronologis bagaimana puisi tentang ‘Ini’ ini bisa saya buat. Untuknya saya butuh lebih dari dua orang.

Terima kasih Tuhan telah menciptakan alam” merupakan kalimat pertama yang saya tulis dalam puisi ‘Ini’. Padanya terdapat kata Tuhan. Itu sengaja saya cantumkan, karena menurut saya Tuhanlah yang menjadi dasar tentang semuanya. Dan saya punya kehendak agar tidak lupa dengan Tuhan. Kamu tahu bahwa alam adalah ciptaan Tuhan? Pastilah kamu tahu. Maka dari itu tidak perlu lagi saya jelaskan apa itu alam, karena saya sadari kamu sedang berada padanya. Bahkan alam memberimu makan sampai-sampai kamu hidup berketumbuhan.

Baris kedua adalah “Terima kasih alam telah menumbuhkan Adam.” Maksud saya menggunakan kata ‘menumbuhkan’ bukan berarti alam secara langsung yang menumbuhkan Adam, tetapi atas kuasa Tuhan dengan perantara alam, Adam bisa tumbuh dengan segala makanan yang disediakan alam.

Lalu, “Terima kasih Adam telah mengeluarkan Hawa.” Saya tafsirkan, atas kuasa Tuhan, Hawa muncul dari tulang rusuk Adam. Saya juga enggak lihat, bagaimana tentang kemunculannya. Namun saya iman saja. Iman itu bukan nama orang, tapi percaya.

Kemudian “Terima kasih Hawa telah melahirkan nenek.” Setelah Hawa berada, Hawa melahirkan sampai lahirlah nenek. Dan saya belum pernah bertemu dengan nenek. Bukan karena nenek yang enggak mau, tapi pas saya lahir, nenek sudah meninggal. Tunggu saya di surga, nek.

Terus, “Terima kasih nenek telah melahirkan paman.” Paman itu adalah paman saya, namanya Dindin. Saya biasa sebut Uak Dindin. Uak Dindin itu ahli di bidang mebel, seperti kakek. Dia juga ahli dalam baca kitab (buku bahasa Arab) gundul. Tahu kitab gundul? Saya enggak bakalan ngasih tahu!

Dan, “Terima kasih paman telah melahirkan Walid.” Walid itu saudara saya, putra dari Uak Dindin. Sebelum jadi kosma (komisariat mahasiswa), dulu ketika masih duduk di meja Tsanawiyyah (setingkat SLTP), dia dipilih menjadi wakil ketua RG (Osis).

Juga, “Terima kasih Walid telah mengenalkanku ke Muallimin.” Sebelum saya menginjak perkuliahan, dulunya saya sekolah di Mu’allimin. Yang mengenalkan saya kepadanya (nya=Mu’allimin) adalah Walid. Dan Walid dipilih menjadi ketua RG-nya (RG itu hampir serupa-lah dengan Osis).

Lantas, “Terima kasih Mu’alimin telah mengenalkan Dina.” Di Mu’allimin, banyak sekali orang. Biasanya mereka adalah teman saya, salah satunya adalah Dina, teman sekelas. Dia berbentuk agak besar. Maksudnya berbadan tidak kurus. Sekarang dia satu kampus dengan saya, dan menjadi kakak tingkat, kakak besar atau kakak kelas di sana.

Sampai, “Terima kasih Dina telah mengenalkan Diani.” Di kampus, Dina belajar. Lalu mendapatkan beberapa teman, di antaranya adalah Diani. Saya enggak tahu apakah Diani itu tulus berteman dengan Dina enggak. Tapi, sepertinya keduanya tulus berteman. Sampai, katanya, mereka saling bercurhat-curhatan meskipun Diani itu agak-agak kekar.

Lanjut, “Terima kasih Diani telah meminjamkan buku Dilan.” Waktu itu. Waktu kapan? Waktu ketika Dina dan Diani minta bantuan saya, Dina bilang, katanya Diani fans berat Pidi Baiq, dan dia memang berbobot berat. Itu Surayah. Surayah penulis buku Dilan. Setelah itu, Diani ngasih saya buku Dilan, tapi nyatanya dia ambil lagi, katanya, waktu itu saya cuma minjam.

Akhirnya, “Terima kasih Dilan telah membuatku menulis puisi ini.” Berkat saya membaca buku Dilan, akhirnya selesai membacanya. Dan menghasilkan puisi ini, atau puisi berjudul ‘Ini’. Saya enggak mengerti mengapa saya menulis puisi ini, atau puisi berjudul ‘Ini’. Tapi yang penting, dengan perantara tidak lebih dari dua orang, karya saya, termasuk puisi ini, atau puisi berjudul ‘Ini’, selalu saya cintai.



Bandung, 7 Februari 2016 

Comments

Popular Posts